Menuju Kemenangan 1437 H

Ahlan Wasahlan Akhi dan Ukhti di Blog Sederhana ini. Insyaallah informasi yang kami sajikan valid dan akurat.

Makalah Intelejensi dan Bakat

Makalah Intelegensi dan Bakat
DESKRIPSI

A. INTELEGENSI
Perkembangan Intelegensi
Dalam pembahasan tentang perkembangan kognitif anak usia sekolah, masalah kecerdasan atau intelegensi mendapat banyak perhatian dikalangan psikolog. Hal ini adalah karena intelegensi telah dianggap sebagai suatu norma yang menentukan perkembangan kemampuan dan pencapaian optimal hasil belajar anak di sekolah. Dengan mengetahui intelegensinya, seorang anak dapat dikategorikan sebagai anak yang pandai/cerdas (genius), sedang, atau bodoh (idiot).

1. Pengertian Intelegensi
Intelegensi berarti kecerdasan. Intelegensi adalah kemampuan untuk memperoleh berbagai informasi abstrak, menalar serta bertindak secara efisien dan efektif. Intelegensi juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau produk yang dinilai di dalam satu atau lebih latar budaya. Pola intelegensi yang berbeda menyatukan perwakilan mental yang berfokus pada perbedaan individual. Intelegensi sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta kemampuan mengalahkan menguasai lingkungan secara efektif (Baharuddin, 2009 : 116).
Intelegensi merupakan sebuah konsep abstrak yang sulit didefinisikan secara memuaskan. Hingga sekarang, masih belum dijumpai sebuah definisi tentang intelegensi yang dapat diterima secara universal. Meskipun demikian, dari sekian banyak definisi tentang intelegensi yang dirumuskan oleh para ahli, secara umum dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga klasifikasi berikut : 
a. Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, beradaptasi dengan situasi-situasi baru atau menghadapi situasi-situasi yang sangat beragam
b. Kemampuan untuk belajar atau kapasitas untuk menerima pendidikan
c. Kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menggunakan konsep-konsep abstrak dan menggunakan secara luas simbol-simbol dan konsep-konsep (Phares, 1988).
Intelegensi dapat diartikan sebagai kemampuan berfikir secara abstrak, memecahkan masalah dengan menggunakan symbol-simbol verbal, dan kemampuan untuk belajar dari dan menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari. Belakangan, sejumlah psikolog memperluas pengertian intelegensi dengan memasukkan berbagai macam dimensi bakat (seoerti bakat musik) dan keterampilan jasmani. Meskipun demikian, diskusi-diskusi tentang intelegensi masih didominasi oleh pandangan tradisional, yang lebih berorientasi pada dimensi pemikiran dan pemecahan masalah, sehingga banyak standar test yang dikembangkan untuk mengukur bentuk-bentuk intelegensi ini (Seifert & Huffnung, 1994).

2. Pengukuran Intelegensi

Dalam psikologi, pengukuran intelegensi dilakukan dengan menggunakan alat-alat psikodiagnostik atau yang dikenal dengan istilah Psikotest. Hasil pengukuran intelegensi biasanya dinyatakan dalam satuan ukuran tertentu yang dapat menyataakan tinggi rendahnya intelegensi yang diukur, yaitu IQ (Intellegence Quotioent).
Intelegensi pada setiap anak tidak sama. Untuk mengukur perbedaan-perbedaan kemampuan individu tersebut, para psikolog telah mengembangkan sejumlah tes intelegensi. Dalam hal ini, Alfret Binet (1857-1911), seorang dokter dan psikolog Perancis, dipandang secara luas sebagai orang yang paling berjasa dalam mempelopori pengembangan tes intelegensi ini. 
Berawal dari penugasannya dari Kementerian Pendidikan Perancis untuk mengembangkan suatu metode yang dapat menentukan murid-murid mana yang memperoleh keuntungan dari sistem pembelajaran di sekolah umum, tahun 1904 Binet bersama mahasiswanya, Theophile Simon, mulai merancang sebuah intelegensi, yang diberi nama “Chelle Matrique de I’inteligence” (Skala Pengukur Intelegensi). Tes dimaksudkan untuk membedakan antara anak yang dapat mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik dan anak-anak yang tidak mampu menangkap pelajaran. 
Tes intelegensi yang dirancang Binet ini berangkat dari konsep usia mental (Mental Age-MA) yang dikembangkannya. Binet menganggap anak-anak yang terbelakang secara mental akan bertingkah dan berkinerja seperti anak-anak normal yang berusia lebih muda. Ia mengembangkan norma-norma intelegensi dengan menguji 50 orang anak-anak dari usia 3 hingga 11 tahun yang tidak terbelakang secara mental. Anak-anak yang diduga terbelakang secara mental juga diuji, dan performa mereka dibandingkan dengan anak-anak yang usia kronologisnya sama di dalam sampel yang normal. Perbedaan antara usia mental (MA) dengan usia-usia kronologis (CA) usia sejak lahir inilah yang digunakan sebagai ukuran intelegensi. Anak yang cerdas memiliki MA diatas CA, sedangkan anak yang bodoh memiliki MA di bawah CA. 
William Stern (1871-1938), seorang psikolog Jerman, kemudian menyempurnakan tes intelegensi Binet dan mengembangkan sebuah istilah yang sangat populer hingga sekarang, yaitu Inteligence Quotient (IQ). IQ menggambarkan intelegensi sebagai rasio antara usia mental (MA) dan usia kronologis (CA), dengan rumus : 
Angka 100 digunakan sebagai bilangan pengali supaya IQ bernilai 100 bila MA sama dengan CA. Bila MA lebih kecil dari CA, maka IQ kurang dari 100. Sebaliknya, jika MA lebih besar dari CA, maka IQ lebih dari 100. Berdasarkan hasil tes intelegensi yang disebarkan ke sejumlah besar orang, baik anak-anak Maupun orang dewasa dari usia yang berbeda, ditemukan bahwa intelegensi diukur dengan perkiraan distribusi normal Binet. Distribusi normal ialah simetris dengan kasus mayoritas yang berada di tengah-tengah rentang skor tertinggi dan skor terendah yang tampak pada kedua titik ekstrim skor. Sebaran atau distribusi intelegensi dari yang terendah sampai yang tertinggi, dapat dilihat pada tabel klasifikasi IQ.
Dewasa intelegensi tes-tes telah dipergunakan secara luas untuk menempatkan anak sekolah ke dalam kelas atau jurusan tertentu, untuk menerima mahasiswa di suatu perguruan tinggi, untuk menyeleksi calon pegawai negeri sipil, untuk memiliki individu yang akan ditempatkan pada jabatan tertentu, dan sebagainya.

3. Teori-Teori Intelegensi
Salah satu isu penting yang menjadi perdebatan di kalangan psikolog mengenai intelegensi adalah sifat dasar dari intelegensi itu, apakah intelegensi terdiri atas satu kemampuan umum atau beberapa kemampuan khusus? Dalam hal ini psikolog terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama menganggap intelegensi sebagai suatu kemampuan umum yang merupakan satu kesatuan. Sedangkan kubu kedua menganggap bahwa intelegensi ditentukan oleh banyaknya kemampuan yang saling terpisah. 

 a. Charles Spearman (1863-1945)
Orang yang berjasa mengembangkan pendekatan analisis faktor (factor analysis) misalnya, ia percaya adanya suatu faktor intelegensi umum, atau faktor “G” yang mendasari faktor-faktor khusus atau faktor “S” dalam jumlah yang berbeda-beda. Orang dapat dikatakan secara umum pandai atau secara umum bodoh, tergantung pada jumlah faktor “G” yang dimilikinya. Intelegensi seseorang mencerminkan jumlah faktor “G” ditambah besaran berbagai faktor “S” yang dimiliki. Seseorang yang harus memecahkan soal aljabar misalnya, maka yang dibutuhkan ialah intelegensi umum orang tersebut dan pemahamannya akan berbagai rumus serta konsep aljabar itu sendiri. Menurut Spearman, orang yang cerdas mempunyai banyak sekali faktor umum, dan fsktor umum ini merupakan dasar dari semua perilaku cerdas manusia, mulai dari keunggulan di sekolah sampai pada kemampuan berlayar di laut (Myers, 1996). 
Pandangan Spearman yang lebih menekankan pada intelegensi umum tersebut ditolak oleh Louis Thurstone (1887-1955), yang menekankan pada aspek yang terbagi-bagi dari intelegensi. Thurstone menganggap bahwa intelegensi dapat dibagi menjadi sejumlah kemampuan primer. Menurut Thurstone, intelegensi umum yang dikemukakan oleh Spearman itu pada dasarnya terdiri dari 7 kemampuan primer yang dapat dibedakan dengan jelas serta dapat digali melalui tes intelegensi, yaitu : 
1.      Pemahaman verbal (verbal comprehension), kemampuan memahami makna kata
2.      Kefasihan menggunakan kata-kata (word fluency), kemampuan memikirkan kata secara tepat seperti penukaran huruf dalam kata, sehingga kata itu mempunyai pengertian lain atau memikirkan kata-kata yang bersajak
3.      Kemampuan bilangan (numerical ability), kemampuan bekerja dengan angka dan melakukan perhitungan
4.      Kemampuan ruang (spatial factor), kemampuan memvisualisasi hubungan bentuk ruang, seperti mengenal gambar yang sama yang disajikan dengan sudut pandang yang berbeda
5.      Kemampuan mengingat (memory), kemampuan mengingat stimulus verbal
6.      Kecepatan pengamatan (perceptual speed), kemampuan menangkap rincian visual secara cepat serta melihat persamaan dan perbedaan di antara obyek yang tergambar.
7.      Kemampuan penalaran (reasoning), kemampuan menemukan aturan umum berdasarkan contoh yang disajikan seperti menentukan bentuk keseluruhan rangkaian setelah disajikan sebagian dari rangkaian tersebut

b. Psikolog Howard Gardner (1983)
Mendukung gagasan bahwa kita tidak mempunyai satu intelegensi tetapi malah memiliki banyak intelegensi (multiple intelligence) yang berbeda antara satu sama lain. Masing-masing intelegensi ini meliputi keterampilan-keterampilan kognitif yang unik dan bahwa masing-masing ditampilkan di dalam bentuk yang berlebihan pada orang-orang berbakat dan idiot (orang-orang yang secara mental terbelakang tetapi memiliki keterampilan yang sulit dipercaya dalam bidang tertentu seperti melukis, musik atau berhitung). Gardner juga mencatat bahwa kerusakan otak mungkin mengurangi satu jenis kemampuan tetapi tidak pada kemampuan lain. Gardner juga membagi intelegensi atas 7 aspek, yaitu :
1.      Logical Mathematical, kepekaan dan kemampuan mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan berpikir logis
2.      Linguistic, kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata dan keragaman fungsi-fungsi Bahasa
3.      Musical, kemampuan menghasilkan dan mengekspresikan ritme, nada dan bentuk-bentuk ekspresi music
4.      Spatial, kemampuan mempersepsi dunia ruang visual secara akurat dan melakukan transformasi persepsi tersebut
5.      Bodily Kinesthetic, kemampuan mengontrol gerakan tubuh dan menangani obyek-obyek secara terampil
6.      Interpersonal, kemampuan mengamati dan merespon suasana hati, temperamen dan motivasi orang lain
7.      Intrapersonal, kemampuan memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan intelegensi sendiri

c. Robert J. Sternberg (1988)
Teori kontemporer tentang intelegensi berasal dari Robert J. Sternberg (1988), yang dikenal dengan “Triarchic Theory of Intelligence.” Teori ini merupakan perluasan dari pendekatan psikometrik dan menggabungkannya dengan ide-ide terbaru dari riset terhadap bagaimana pemikiran terjadi. Dalam hal ini, Sternberg menyatakan bahwa intelegensi memiliki tiga bidang, yang disebutkannya dengan Triarchic, yaitu :
1. Intelegensi komponensial
Intelegensi komponensial berhubungan dengan komponen berpikir yang menyerupai unsur-unsur dasar dari model pemrosesan informasi. Komponen-komponen ini meliputi keterampilan atau kemampuan memperoleh, memelihara atau menyimpan dan mentransfer informasi, kemampuan merencanakan, mengambil keputusan dan memecahkan masalah serta kemampuan menerjemahkan pemikiran-pemikiran sendiri dalam wujud performa.
2. Intelegensi eksperiensial
Intelegensi eksperiensial difokuskan pada bagaimana pengalaman seseorang sebelum mempengaruhi intelegensi dan bagaimana pengalaman itu difokuskan pada pemecahan masalah dalam berbagai situasi.
3. Intelegensi kontekstual
Intelegensi kontekstual difokuskan pada pertimbangan bagaimana orang bisa berhasil dalam menghadapi tuntutan lingkungannya sehari-hari, bagaimana ia keluar dari kesulitan atau bagaimana ia bergaul dengan orang lain. Intelegensi praktis atau kontekstual ini menurut Sternberg sangat diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan dunia nyata yang memang tidak diajarkan di sekolah
Beberapa teori kontemporer tentang intelegensi lebih difokuskan pada intelegensi praktis (practical intelligence) – intelegensi yang dihubungkan dengan semua kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari dari Sternberg tersebut – dibandingkan pada prestasi akademis dan intelektual. Hal ini karena kesuksesan dalam hidup atau karir dibutuhkan suatu tipe intelegensi yang sangat berbeda dengan yang dibutuhkan dalam kesuksesan akademis dan kebanyakan psikolog percaya bahwa IQ tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kesuksesan dalam berkarir. Orang yang tinggi dalam intelegensi praktisnya, lebih mampu mempelajari norma-norma dan prinsip-prinsip umum serta mengaplikasikannya secara tepat (Feldman, 1996).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
a. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90 ) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( + 0,10 – + 0,20 ).
b. Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).
c. Stabilitas intelegensi dan IQ
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.

d. Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.
e. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.
f. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar.
g. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang individu, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan intelegensi seseorang.

5. Perkembangan Intelegensi
Suatu mitos yang bertahan hingga sekarang adalah bahwa menjadi tua berarti mengalami kemunduran intelektual. Mitos ini diperkuat oleh sejumlah peneliti awal yang berpendapat bahwa seiring dengan proses penuaan selama masa dewasa terjadi kemunduran dalam intelegensi umum. Misalnya dalam studi kros-seksional, peneliti menguji orang-orang dari berbagai usia pada waktu yang sama. Ketika memberikan tes intelegensi kepada sampel yang representatif, peneliti secara konsisten menemukan bahwa orang dewasa yang lebih tua memberikan lebih sedikit jawaban yang benar dibanding orang dewasa yang lebih muda. Oleh karena itu, David Weschler (1972), menyimpulkan bahwa kemunduran kemampuan mental merupakan bagian dari proses penuaan organisme secara umum. Hampir semua studi menunjukkan bahwa setelah mencapai puncaknya pada usia antara 18 dan 25 tahun, kebanyakan kemampuan manusia terus menerus mengalami kemunduran.

6. Perkembangan Intelegensi Anak 
Perkembangan intelegensi anak menurut Piaget mengandung tiga aspek yaitu structure, content, dan function. Jadi, intelegensi anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur (structure) dan content intelegensinya berubah atau berkembang. Di mana fungsi dan adaptasi akan tersusun sedemikian rupa, sehingga melahirkan rangkaian perkembangan, dan masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan pikiran anak. Adapun tahap-tahap perkembangan menurut Piaget ialah kematangan, pengalaman fisik atau lingkungan, transmisi sosial, dan equilibrium atau self regulation. Selanjutnya Piaget membagi tingkat perkembangan sebagai tahap: sensori motor, berpikir pra operasional, berpikir operasional konkret, dan berpikir operasional formal.
a. Tahap sensori-motor (0-2 tahun)
Pada tahap ini, bayi mempergunakan sistem penginderaan dan aktivitas-aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya mengenal objek-objek. Meskipun ketika dilahirkan seorang bayi masih sangat tergantung dan tidak berdaya, tetapi sebagian alat-alat inderanya sudah langsung bisa berfungsi. Contoh yang jelas dapat dilihat pada “kemampuan” bayi untuk menggerakkan otot-otot disekitar mulut, gerakan mengenyot bilamana mulut tersentuh pada sesuatu, misalnya putting susu ibunya. Bayi bukan saja secara pasif menerima rangsang-rangsangan terhadap alat-alat inderanya, melainkan juga bisa memberikan jawaban terhadap rangsang yakni refleks-refleks. Jelas bahwa refleks yang diperlihatkan bayi bukan sesuatu kemampuan yang timbul dari hasil belajar dalam hubungan dengan lingkungan atau rangsang yang timbul dari lingkungan, melainkan suatu kemampuan yang sudah ada ketika bayi dilahirkan. Dalam perkembangan lebih lanjut, sebagaimana dikemukakan oleh I.P. Pavlov yang menjadi pendahulu refleksologi, satu refleks bisa berpindah dan dikembangkan dengan reflek-reflek lain melalui kondisi-kondisi yang dibuat dari luar (lingkungan) sebagai inti dasar rangkaian gerak atau perbuatan yang sederhana, terutama pada gerak motorik.
Masa sensori motor terbagi menjadi 6 sub masa, yaitu:
1. Modifikasi dari refleks-refleks (0-1 bulan)
Pada masa ini refleks menjadi lebih efisien dan terarah.
2. Reaksi pengulangan pertama (1-4 bulan)
Yaitu pengulangan gerak-gerik yang menarik pada tubuhnya.
3. Reaksi pengulangan kedua (4-10 bulan)
Yaitu pengulangan keadaan atau obyek yang menarik.
4. Koordinasi reaksi-reaksi sekunder (10-12 bulan)
Yaitu menggabungkan beberapa skema untuk memperoleh sesuatu.
5. Reaksi pengulangan ketiga (12-18 bulan)
Yaitu menggabungkan beberapa skema untuk memperoleh sesuatu.
6. Permulaan berpikir (18-24 bulan)
Yaitu berpikir dahulu sebelum bertindak.

b. Tahap berpikir praoperasional (2-7 tahun)
Perkembangan yang jelas terlihat pada tahap ini ialah kemampuan mempergunakan simbol. Fungsi simbolik, yakni kemampuan untuk mewakilkan sesuatu yang tidak ada, tidak terlihat dengan sesuatu yang lain atau sebaliknya sesuatu hal mewakili sesuatu yang tidak ada. Fungsi simbolik ini bisa nyata atau abstrak. Misalnya pisau yang terbuat dari plastik adalah sesuatu yang nyata, mewakili pisau yang sesungguhnya. Dengan berkembangnya kemampuan mensimbolisasikan ini, anak memperluas ruang lingkup aktivitasnya yang menyangkut hal-hal yang sudah lewat, atau hal-hal yang akan datang, di samping tentu saja hal-hal yang sekarang. Pada akhir masa sensori motor, anak sudah mulai mempergunakan fungsi simbolik, antara lain terlihat dengan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang sudah lewat, sebagai hasil mengamati sesuatu.
Pada masa praoperasional ini, anak bisa menemukan obyek-obyek yang tertutup atau tersembunyi. Untuk bisa melakukan ini, anak harus bisa melakukan simbolisasi terhadap obyek yang tidak ada atau tidak diketahuinya ketika terjadi pemindahan obyek. Anak juga bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati suatu model tingkah laku. Perkembangan kemampuan mensimbolisasikan sesuatu ini terlihat pula pada permainan yang dilakukan anak-anak, misalnya kursi yang dijadikan keretaapi, pensil yang dianggap pistol, dan lain-lain.

c. Tahap berpikir operasional konkret (7-11 tahun)
Pada masa ini anak-anak sudah mulai bisa melakukan bermacam-macam tugas. Menurut Piaget, anak-anak pada masa operasional konkret ini bisa melakukan tugas-tugas konservasi dengan baik, karena anak-anak pada masa ini telah mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan operasi-operasi, yaitu:
1. Negasi
Pada masa praoperasional anak hanya melihat atau memperhatikan keadaan permulaan dan keadaan akhir pada deretan benda yaitu pada mulanya keadaannya sama dan pada akhirnya keadaanya menjadi tidak sama. pada masa operasional konkret anak telah mengerti proses apa yang terjadi diantara kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya.
2. Hubungan timbal balik (resiprokasi)
Ketika anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah, anak mengetahui bahwa deretan benda-benda bertambah panjang tetapi tidak rapat lagi dibandingkan dengan deretan yang lain. Karena anak mengetahui hubungan timbal balik antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya, maka anak tahu pula bahwa jumlah benda-benda yang ada pada kedua deretan itu sama.
3. Identitas
Anak pada masa operasional konkret ini sudah bisa mengenal satu persatu benda-benda yang ada pada deretan-deretan itu. Anak bisa menghitung, sehingga meskipun benda-benda dipindahkan, anak mengetahui bahwa jumlah tetap sama.
Hal lain yang masih membatasi kemampuan berpikir konkrit ialah apa yang oleh D. Elkind (1967) disebut egosentrisme. Egosintrisme dalam arti kurang mempunyai si anak membedakan antara perbuatan-perbuatan serta obyek-obyek yang secara langsung dialami dengan perbuatan-perbuatan atau obyek-obyek yang hanya ada dalam pikiran anak.
d. Tahap berpikir operasional formal (11-15 tahun)
Pada tahap ini, seorang anak memperkembangkan kemampuan kognitif untuk berpikir abstrak dan hipotesis. Pada masa ini anak bisa memikirkan hal-hal apa yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang abstrak dan menduga apa yang akan terjadi. Perkembangan lain pada masa anak atau bisa disebut masa remaja ini ialah kemampuan untuk berpikir sistematik, bisa memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan suatu persoalan. Pada masa ini remaja juga sudah bisa memahami adanya bermacam-macam aspek pada suatu persoalan yang dapat diselesaikan seketika, sekaligus. Tidak lagi satu persatu seperti yang biasa dilakukan anak-anak pada masa operasional konkrit.



B. BAKAT

1. Pengertian bakat
Bakat mengacu pada kemampuan khusus ( berg, 2000 ) sepeti menyelesaikan perhitungan aritmatika, atau mengingat fakta dari informasi yang telah dibaca.
Bakat berasal dari hasil interaksi antara karakteristik individu dengan kesempatan belajar di lingkungan ( Cohen dan Swedlik, 2002 ) . Bakat ini merepresentasikan informasi dan ketrampilan yang bertahap telah didapatkan.
Bakat dapat diukur dan digunakan untuk memprediksi potensi yang dimiliki seseorang untuk meraih prestasi dalam area tertentu
Jika seseorang memiliki bakat dalam bidang tertentu, maka dengan latihan ia akan sukses dalam bidang tersebut.
·         Bakat disebut juga spesial ability / aptitude
·         Branca : Predisposisi bawaan, potensi yang belum dikembangkan, sifat bawaan dari lahir
·         Gray : kapasitas untuk belajar
·         Lyman : kapasitas untuk mengembangkan keahlian / ketrampilan dalam bidang studi tertentu yang bersifat bawaan dan pengalman
·         Bingham : kondisi pada seseorang yang dengan suatu latihan khusus memungkinkan mencapai suatu kecakapan, pengetahuan dan ketrampilan tertentu

Pentingnya mengetahui bakat
Mengidentifikasi bakat memungkinkan individu mentetahui tip skil yang paling cepat, mudah dan dapat dinikmati ketika dipelajari
Individu yang tahu bakatnya akan lebih percaya diri, akan lebih mengoptimalkan waktu dan energinya di bidang yang menawarkan kemungkinan sukses yang paling besar baginya

Intelegensi dan Bakat

Jawaban-jawaban yang diberikan seseorang dalam pengukuran intelegensi umum ternyata dapat menunjukkan bakat khusus seseorang, di mana ia dapat menjawab dengan baik satu aspek kemampuan tertentu. Pengukuran intelegensi umum yang dicapai seseorang memiliki sifat untuk meramalkan sampai di mana seseorang dapat berhasil dalam menyelesaikan beberapa tugas-pekerjaan yang membutuhkan kemampuan mental. Sedangkan pengukuran bakat dilakukan dengan maksud untuk menunjukkan kemampuan berhasil dalam suatu bidang tertentu (Crow and Crow,1989).

Klik untuk full version disini
Previous
Next Post »