Makalah Intelegensi dan
Bakat
DESKRIPSI
A. INTELEGENSI
Perkembangan Intelegensi
Dalam pembahasan tentang perkembangan kognitif anak usia sekolah, masalah
kecerdasan atau intelegensi mendapat banyak perhatian dikalangan psikolog. Hal
ini adalah karena intelegensi telah dianggap sebagai suatu norma yang
menentukan perkembangan kemampuan dan pencapaian optimal hasil belajar anak di
sekolah. Dengan mengetahui intelegensinya, seorang anak dapat dikategorikan
sebagai anak yang pandai/cerdas (genius), sedang, atau bodoh (idiot).
1. Pengertian Intelegensi
Intelegensi berarti kecerdasan. Intelegensi adalah kemampuan untuk
memperoleh berbagai informasi abstrak, menalar serta bertindak secara efisien
dan efektif. Intelegensi juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk
menyelesaikan masalah atau produk yang dinilai di dalam satu atau lebih latar
budaya. Pola intelegensi yang berbeda menyatukan perwakilan mental yang
berfokus pada perbedaan individual. Intelegensi sebagai keseluruhan kemampuan
individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta kemampuan
mengalahkan menguasai lingkungan secara efektif (Baharuddin, 2009 : 116).
Intelegensi merupakan sebuah konsep abstrak yang sulit didefinisikan secara
memuaskan. Hingga sekarang, masih belum dijumpai sebuah definisi tentang
intelegensi yang dapat diterima secara universal. Meskipun demikian, dari
sekian banyak definisi tentang intelegensi yang dirumuskan oleh para ahli,
secara umum dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga klasifikasi berikut
:
a. Kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan, beradaptasi dengan situasi-situasi baru
atau menghadapi situasi-situasi yang sangat beragam
b. Kemampuan
untuk belajar atau kapasitas untuk menerima pendidikan
c. Kemampuan
untuk berpikir secara abstrak, menggunakan konsep-konsep abstrak dan
menggunakan secara luas simbol-simbol dan konsep-konsep (Phares, 1988).
Intelegensi dapat diartikan sebagai kemampuan berfikir secara abstrak,
memecahkan masalah dengan menggunakan symbol-simbol verbal, dan kemampuan untuk
belajar dari dan menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalaman hidup
sehari-hari. Belakangan, sejumlah psikolog memperluas pengertian intelegensi
dengan memasukkan berbagai macam dimensi bakat (seoerti bakat musik) dan
keterampilan jasmani. Meskipun demikian, diskusi-diskusi tentang intelegensi
masih didominasi oleh pandangan tradisional, yang lebih berorientasi pada
dimensi pemikiran dan pemecahan masalah, sehingga banyak standar test yang
dikembangkan untuk mengukur bentuk-bentuk intelegensi ini (Seifert &
Huffnung, 1994).
2. Pengukuran Intelegensi
Dalam psikologi, pengukuran intelegensi dilakukan dengan menggunakan
alat-alat psikodiagnostik atau yang dikenal dengan istilah Psikotest. Hasil
pengukuran intelegensi biasanya dinyatakan dalam satuan ukuran tertentu yang
dapat menyataakan tinggi rendahnya intelegensi yang diukur, yaitu IQ
(Intellegence Quotioent).
Intelegensi pada setiap anak tidak sama. Untuk mengukur perbedaan-perbedaan
kemampuan individu tersebut, para psikolog telah mengembangkan sejumlah tes
intelegensi. Dalam hal ini, Alfret Binet (1857-1911), seorang dokter dan
psikolog Perancis, dipandang secara luas sebagai orang yang paling berjasa
dalam mempelopori pengembangan tes intelegensi ini.
Berawal dari penugasannya dari Kementerian Pendidikan Perancis untuk
mengembangkan suatu metode yang dapat menentukan murid-murid mana yang
memperoleh keuntungan dari sistem pembelajaran di sekolah umum, tahun 1904
Binet bersama mahasiswanya, Theophile Simon, mulai merancang sebuah
intelegensi, yang diberi nama “Chelle Matrique de I’inteligence” (Skala
Pengukur Intelegensi). Tes dimaksudkan untuk membedakan antara anak yang dapat
mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik dan anak-anak yang tidak mampu menangkap
pelajaran.
Tes intelegensi yang dirancang Binet ini berangkat dari konsep usia mental
(Mental Age-MA) yang dikembangkannya. Binet menganggap anak-anak yang
terbelakang secara mental akan bertingkah dan berkinerja seperti anak-anak
normal yang berusia lebih muda. Ia mengembangkan norma-norma intelegensi dengan
menguji 50 orang anak-anak dari usia 3 hingga 11 tahun yang tidak terbelakang
secara mental. Anak-anak yang diduga terbelakang secara mental juga diuji, dan
performa mereka dibandingkan dengan anak-anak yang usia kronologisnya sama di
dalam sampel yang normal. Perbedaan antara usia mental (MA) dengan usia-usia
kronologis (CA) usia sejak lahir inilah yang digunakan sebagai ukuran
intelegensi. Anak yang cerdas memiliki MA diatas CA, sedangkan anak yang bodoh
memiliki MA di bawah CA.
William Stern (1871-1938), seorang psikolog Jerman, kemudian menyempurnakan
tes intelegensi Binet dan mengembangkan sebuah istilah yang sangat populer
hingga sekarang, yaitu Inteligence Quotient (IQ). IQ menggambarkan intelegensi
sebagai rasio antara usia mental (MA) dan usia kronologis (CA), dengan rumus
:
Angka 100 digunakan sebagai bilangan pengali supaya IQ bernilai 100 bila MA
sama dengan CA. Bila MA lebih kecil dari CA, maka IQ kurang dari 100.
Sebaliknya, jika MA lebih besar dari CA, maka IQ lebih dari 100. Berdasarkan
hasil tes intelegensi yang disebarkan ke sejumlah besar orang, baik anak-anak
Maupun orang dewasa dari usia yang berbeda, ditemukan bahwa intelegensi diukur
dengan perkiraan distribusi normal Binet. Distribusi normal ialah simetris
dengan kasus mayoritas yang berada di tengah-tengah rentang skor tertinggi dan
skor terendah yang tampak pada kedua titik ekstrim skor. Sebaran atau
distribusi intelegensi dari yang terendah sampai yang tertinggi, dapat dilihat
pada tabel klasifikasi IQ.
Dewasa intelegensi
tes-tes telah dipergunakan secara luas untuk menempatkan anak sekolah ke dalam
kelas atau jurusan tertentu, untuk menerima mahasiswa di suatu perguruan
tinggi, untuk menyeleksi calon pegawai negeri sipil, untuk memiliki individu
yang akan ditempatkan pada jabatan tertentu, dan sebagainya.
3. Teori-Teori
Intelegensi
Salah satu isu penting yang menjadi perdebatan di kalangan psikolog
mengenai intelegensi adalah sifat dasar dari intelegensi itu, apakah
intelegensi terdiri atas satu kemampuan umum atau beberapa kemampuan khusus? Dalam hal ini psikolog terbagi dalam dua kubu.
Kubu pertama menganggap intelegensi sebagai suatu kemampuan umum yang merupakan
satu kesatuan. Sedangkan kubu kedua menganggap bahwa intelegensi ditentukan oleh
banyaknya kemampuan yang saling terpisah.
a. Charles Spearman (1863-1945)
Orang yang berjasa mengembangkan pendekatan
analisis faktor (factor analysis) misalnya, ia percaya adanya suatu faktor
intelegensi umum, atau faktor “G” yang mendasari faktor-faktor khusus atau
faktor “S” dalam jumlah yang berbeda-beda. Orang dapat dikatakan secara umum
pandai atau secara umum bodoh, tergantung pada jumlah faktor “G” yang
dimilikinya. Intelegensi seseorang mencerminkan jumlah faktor “G” ditambah
besaran berbagai faktor “S” yang dimiliki. Seseorang yang harus memecahkan soal
aljabar misalnya, maka yang dibutuhkan ialah intelegensi umum orang tersebut
dan pemahamannya akan berbagai rumus serta konsep aljabar itu sendiri. Menurut
Spearman, orang yang cerdas mempunyai banyak sekali faktor umum, dan fsktor
umum ini merupakan dasar dari semua perilaku cerdas manusia, mulai dari
keunggulan di sekolah sampai pada kemampuan berlayar di laut (Myers,
1996).
Pandangan Spearman yang lebih menekankan pada
intelegensi umum tersebut ditolak oleh Louis Thurstone (1887-1955), yang
menekankan pada aspek yang terbagi-bagi dari intelegensi. Thurstone menganggap
bahwa intelegensi dapat dibagi menjadi sejumlah kemampuan primer. Menurut
Thurstone, intelegensi umum yang dikemukakan oleh Spearman itu pada dasarnya
terdiri dari 7 kemampuan primer yang dapat dibedakan dengan jelas serta dapat
digali melalui tes intelegensi, yaitu :
1.
Pemahaman verbal (verbal comprehension),
kemampuan memahami makna kata
2. Kefasihan menggunakan kata-kata (word fluency),
kemampuan memikirkan kata secara tepat seperti penukaran huruf dalam kata,
sehingga kata itu mempunyai pengertian lain atau memikirkan kata-kata yang
bersajak
3. Kemampuan bilangan (numerical ability), kemampuan
bekerja dengan angka dan melakukan perhitungan
4. Kemampuan ruang (spatial factor), kemampuan memvisualisasi hubungan bentuk
ruang, seperti mengenal gambar yang sama yang disajikan dengan sudut pandang
yang berbeda
5. Kemampuan mengingat (memory), kemampuan mengingat stimulus verbal
6. Kecepatan pengamatan (perceptual speed), kemampuan menangkap rincian visual
secara cepat serta melihat persamaan dan perbedaan di antara obyek yang
tergambar.
7.
Kemampuan penalaran (reasoning), kemampuan
menemukan aturan umum berdasarkan contoh yang disajikan seperti menentukan
bentuk keseluruhan rangkaian setelah disajikan sebagian dari rangkaian tersebut
b. Psikolog Howard Gardner (1983)
Mendukung gagasan bahwa kita tidak mempunyai
satu intelegensi tetapi malah memiliki banyak intelegensi (multiple
intelligence) yang berbeda antara satu sama lain. Masing-masing intelegensi ini
meliputi keterampilan-keterampilan kognitif yang unik dan bahwa masing-masing
ditampilkan di dalam bentuk yang berlebihan pada orang-orang berbakat dan idiot
(orang-orang yang secara mental terbelakang tetapi memiliki keterampilan yang
sulit dipercaya dalam bidang tertentu seperti melukis, musik atau berhitung).
Gardner juga mencatat bahwa kerusakan otak mungkin mengurangi satu jenis
kemampuan tetapi tidak pada kemampuan lain. Gardner juga membagi intelegensi
atas 7 aspek, yaitu :
1.
Logical Mathematical, kepekaan dan kemampuan
mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemampuan berpikir logis
2. Linguistic, kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata dan keragaman
fungsi-fungsi Bahasa
3. Musical, kemampuan menghasilkan dan mengekspresikan ritme, nada dan
bentuk-bentuk ekspresi music
4. Spatial, kemampuan mempersepsi dunia ruang visual secara akurat dan
melakukan transformasi persepsi tersebut
5. Bodily Kinesthetic, kemampuan mengontrol gerakan tubuh dan menangani
obyek-obyek secara terampil
6. Interpersonal, kemampuan mengamati dan merespon suasana hati, temperamen
dan motivasi orang lain
7.
Intrapersonal, kemampuan memahami perasaan,
kekuatan dan kelemahan intelegensi sendiri
c. Robert J. Sternberg (1988)
Teori kontemporer tentang intelegensi berasal
dari Robert J. Sternberg (1988), yang dikenal dengan “Triarchic Theory of
Intelligence.” Teori ini merupakan perluasan dari pendekatan psikometrik dan
menggabungkannya dengan ide-ide terbaru dari riset terhadap bagaimana pemikiran
terjadi. Dalam hal ini, Sternberg menyatakan bahwa intelegensi memiliki tiga
bidang, yang disebutkannya dengan Triarchic, yaitu :
1. Intelegensi komponensial
Intelegensi komponensial berhubungan dengan
komponen berpikir yang menyerupai unsur-unsur dasar dari model pemrosesan
informasi. Komponen-komponen ini meliputi keterampilan atau kemampuan
memperoleh, memelihara atau menyimpan dan mentransfer informasi, kemampuan
merencanakan, mengambil keputusan dan memecahkan masalah serta kemampuan
menerjemahkan pemikiran-pemikiran sendiri dalam wujud performa.
2. Intelegensi eksperiensial
Intelegensi eksperiensial difokuskan pada
bagaimana pengalaman seseorang sebelum mempengaruhi intelegensi dan bagaimana
pengalaman itu difokuskan pada pemecahan masalah dalam berbagai situasi.
3. Intelegensi kontekstual
Intelegensi kontekstual difokuskan pada pertimbangan bagaimana orang bisa
berhasil dalam menghadapi tuntutan lingkungannya sehari-hari, bagaimana ia
keluar dari kesulitan atau bagaimana ia bergaul dengan orang lain. Intelegensi
praktis atau kontekstual ini menurut Sternberg sangat diperlukan untuk
menyesuaikan diri dengan dunia nyata yang memang tidak diajarkan di sekolah
Beberapa teori kontemporer tentang intelegensi
lebih difokuskan pada intelegensi praktis (practical intelligence) –
intelegensi yang dihubungkan dengan semua kesuksesan dalam kehidupan
sehari-hari dari Sternberg tersebut – dibandingkan pada prestasi akademis dan
intelektual. Hal ini karena kesuksesan dalam hidup atau karir dibutuhkan suatu
tipe intelegensi yang sangat berbeda dengan yang dibutuhkan dalam kesuksesan
akademis dan kebanyakan psikolog percaya bahwa IQ tidak mempunyai hubungan yang
signifikan dengan kesuksesan dalam berkarir. Orang yang tinggi dalam
intelegensi praktisnya, lebih mampu mempelajari norma-norma dan prinsip-prinsip
umum serta mengaplikasikannya secara tepat (Feldman, 1996).
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
a. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal
dari suatu keluarga, atau bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka
berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90 ) yang tidak bersanak
saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( +
0,10 – + 0,20 ).
b. Pengaruh faktor lingkungan
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi
yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan antara pemberian makanan bergizi
dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini merupakan salah
satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan
yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang
amat penting, seperti pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain
(khususnya pada masa-masa peka).
c. Stabilitas intelegensi dan IQ
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan
suatu konsep umum tentang kemampuan individu, sedang IQ hanyalah hasil dari
suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai kelompok dari
intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.
d. Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan
telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya.
e. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri
seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.
f. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan
dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat
dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berinteraksi
dengan dunia luar.
g. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat
memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Manusia
mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah sesuai
dengan kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu
sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau tidaknya seorang individu, kita
tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut, karena
intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan
dalam perbuatan intelegensi seseorang.
5. Perkembangan Intelegensi
Suatu mitos yang bertahan hingga sekarang adalah
bahwa menjadi tua berarti mengalami kemunduran intelektual. Mitos ini diperkuat
oleh sejumlah peneliti awal yang berpendapat bahwa seiring dengan proses
penuaan selama masa dewasa terjadi kemunduran dalam intelegensi umum. Misalnya
dalam studi kros-seksional, peneliti menguji orang-orang dari berbagai usia
pada waktu yang sama. Ketika memberikan tes intelegensi kepada sampel yang
representatif, peneliti secara konsisten menemukan bahwa orang dewasa yang lebih
tua memberikan lebih sedikit jawaban yang benar dibanding orang dewasa yang
lebih muda. Oleh karena itu, David Weschler (1972), menyimpulkan bahwa
kemunduran kemampuan mental merupakan bagian dari proses penuaan organisme
secara umum. Hampir semua studi menunjukkan bahwa setelah mencapai puncaknya
pada usia antara 18 dan 25 tahun, kebanyakan kemampuan manusia terus menerus
mengalami kemunduran.
6. Perkembangan Intelegensi Anak
Perkembangan intelegensi anak menurut Piaget
mengandung tiga aspek yaitu structure, content, dan function. Jadi, intelegensi
anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur (structure) dan content
intelegensinya berubah atau berkembang. Di mana fungsi dan adaptasi akan
tersusun sedemikian rupa, sehingga melahirkan rangkaian perkembangan, dan
masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan
pikiran anak. Adapun tahap-tahap perkembangan menurut Piaget ialah kematangan,
pengalaman fisik atau lingkungan, transmisi sosial, dan equilibrium atau self
regulation. Selanjutnya Piaget membagi tingkat perkembangan sebagai tahap:
sensori motor, berpikir pra operasional, berpikir operasional konkret, dan
berpikir operasional formal.
a. Tahap sensori-motor (0-2 tahun)
Pada tahap ini, bayi mempergunakan sistem
penginderaan dan aktivitas-aktivitas motorik untuk mengenal lingkungannya
mengenal objek-objek. Meskipun ketika dilahirkan seorang bayi masih sangat
tergantung dan tidak berdaya, tetapi sebagian alat-alat inderanya sudah
langsung bisa berfungsi. Contoh yang jelas dapat dilihat pada “kemampuan” bayi
untuk menggerakkan otot-otot disekitar mulut, gerakan mengenyot bilamana mulut
tersentuh pada sesuatu, misalnya putting susu ibunya. Bayi bukan saja secara
pasif menerima rangsang-rangsangan terhadap alat-alat inderanya, melainkan juga
bisa memberikan jawaban terhadap rangsang yakni refleks-refleks. Jelas bahwa
refleks yang diperlihatkan bayi bukan sesuatu kemampuan yang timbul dari hasil
belajar dalam hubungan dengan lingkungan atau rangsang yang timbul dari
lingkungan, melainkan suatu kemampuan yang sudah ada ketika bayi dilahirkan. Dalam
perkembangan lebih lanjut, sebagaimana dikemukakan oleh I.P. Pavlov yang
menjadi pendahulu refleksologi, satu refleks bisa berpindah dan dikembangkan
dengan reflek-reflek lain melalui kondisi-kondisi yang dibuat dari luar
(lingkungan) sebagai inti dasar rangkaian gerak atau perbuatan yang sederhana,
terutama pada gerak motorik.
Masa sensori motor terbagi menjadi 6 sub masa, yaitu:
1. Modifikasi dari refleks-refleks
(0-1 bulan)
Pada masa ini refleks menjadi
lebih efisien dan terarah.
2. Reaksi pengulangan pertama (1-4
bulan)
Yaitu pengulangan gerak-gerik yang menarik pada tubuhnya.
Yaitu pengulangan gerak-gerik yang menarik pada tubuhnya.
3. Reaksi pengulangan kedua (4-10
bulan)
Yaitu pengulangan keadaan atau obyek yang menarik.
Yaitu pengulangan keadaan atau obyek yang menarik.
4. Koordinasi reaksi-reaksi sekunder
(10-12 bulan)
Yaitu menggabungkan beberapa skema untuk memperoleh sesuatu.
Yaitu menggabungkan beberapa skema untuk memperoleh sesuatu.
5. Reaksi pengulangan ketiga (12-18
bulan)
Yaitu menggabungkan beberapa skema untuk memperoleh sesuatu.
Yaitu menggabungkan beberapa skema untuk memperoleh sesuatu.
6. Permulaan berpikir (18-24 bulan)
Yaitu berpikir dahulu sebelum bertindak.
Yaitu berpikir dahulu sebelum bertindak.
b. Tahap berpikir praoperasional (2-7 tahun)
Perkembangan yang jelas terlihat pada tahap ini
ialah kemampuan mempergunakan simbol. Fungsi simbolik, yakni kemampuan untuk
mewakilkan sesuatu yang tidak ada, tidak terlihat dengan sesuatu yang lain atau
sebaliknya sesuatu hal mewakili sesuatu yang tidak ada. Fungsi simbolik ini
bisa nyata atau abstrak. Misalnya pisau yang terbuat dari plastik adalah
sesuatu yang nyata, mewakili pisau yang sesungguhnya. Dengan berkembangnya
kemampuan mensimbolisasikan ini, anak memperluas ruang lingkup aktivitasnya
yang menyangkut hal-hal yang sudah lewat, atau hal-hal yang akan datang, di
samping tentu saja hal-hal yang sekarang. Pada akhir masa sensori motor, anak
sudah mulai mempergunakan fungsi simbolik, antara lain terlihat dengan
kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang sudah lewat, sebagai hasil mengamati
sesuatu.
Pada masa praoperasional ini, anak bisa
menemukan obyek-obyek yang tertutup atau tersembunyi. Untuk bisa melakukan ini,
anak harus bisa melakukan simbolisasi terhadap obyek yang tidak ada atau tidak
diketahuinya ketika terjadi pemindahan obyek. Anak juga bisa melakukan sesuatu
sebagai hasil meniru atau mengamati suatu model tingkah laku. Perkembangan
kemampuan mensimbolisasikan sesuatu ini terlihat pula pada permainan yang
dilakukan anak-anak, misalnya kursi yang dijadikan keretaapi, pensil yang
dianggap pistol, dan lain-lain.
c. Tahap berpikir operasional konkret (7-11 tahun)
Pada masa ini anak-anak sudah mulai bisa
melakukan bermacam-macam tugas. Menurut Piaget, anak-anak pada masa operasional
konkret ini bisa melakukan tugas-tugas konservasi dengan baik, karena anak-anak
pada masa ini telah mengembangkan tiga macam proses yang disebut
dengan operasi-operasi, yaitu:
1. Negasi
Pada masa praoperasional anak hanya melihat atau memperhatikan keadaan
permulaan dan keadaan akhir pada deretan benda yaitu pada mulanya keadaannya
sama dan pada akhirnya keadaanya menjadi tidak sama. pada masa operasional
konkret anak telah mengerti proses apa yang terjadi diantara kegiatan itu dan
memahami hubungan-hubungan antara keduanya.
2. Hubungan timbal
balik (resiprokasi)
Ketika anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah, anak
mengetahui bahwa deretan benda-benda bertambah panjang tetapi tidak rapat lagi
dibandingkan dengan deretan yang lain. Karena anak mengetahui hubungan timbal balik
antara panjang dan kurang rapat atau sebaliknya, maka anak tahu pula bahwa
jumlah benda-benda yang ada pada kedua deretan itu sama.
3. Identitas
Anak pada masa operasional konkret ini sudah
bisa mengenal satu persatu benda-benda yang ada pada deretan-deretan itu. Anak
bisa menghitung, sehingga meskipun benda-benda dipindahkan, anak mengetahui
bahwa jumlah tetap sama.
Hal lain yang masih membatasi kemampuan berpikir
konkrit ialah apa yang oleh D. Elkind (1967) disebut egosentrisme. Egosintrisme
dalam arti kurang mempunyai si anak membedakan antara perbuatan-perbuatan serta
obyek-obyek yang secara langsung dialami dengan perbuatan-perbuatan atau
obyek-obyek yang hanya ada dalam pikiran anak.
d. Tahap berpikir operasional formal (11-15
tahun)
Pada tahap ini, seorang anak memperkembangkan
kemampuan kognitif untuk berpikir abstrak dan hipotesis. Pada masa ini anak
bisa memikirkan hal-hal apa yang akan atau mungkin terjadi, sesuatu yang
abstrak dan menduga apa yang akan terjadi. Perkembangan lain pada masa anak
atau bisa disebut masa remaja ini ialah kemampuan untuk berpikir sistematik,
bisa memikirkan semua kemungkinan secara sistematik untuk memecahkan suatu
persoalan. Pada masa ini remaja juga sudah bisa memahami adanya bermacam-macam
aspek pada suatu persoalan yang dapat diselesaikan seketika, sekaligus. Tidak
lagi satu persatu seperti yang biasa dilakukan anak-anak pada masa operasional
konkrit.
B. BAKAT
1. Pengertian bakat
Bakat
mengacu pada kemampuan khusus ( berg, 2000 ) sepeti menyelesaikan perhitungan
aritmatika, atau mengingat fakta dari informasi yang telah dibaca.
Bakat
berasal dari hasil interaksi antara karakteristik individu dengan kesempatan
belajar di lingkungan ( Cohen dan Swedlik, 2002 ) . Bakat ini merepresentasikan
informasi dan ketrampilan yang bertahap telah didapatkan.
Bakat
dapat diukur dan digunakan untuk memprediksi potensi yang dimiliki seseorang
untuk meraih prestasi dalam area tertentu
Jika seseorang memiliki bakat dalam bidang tertentu, maka dengan latihan ia
akan sukses dalam bidang tersebut.
·
Bakat disebut juga spesial ability / aptitude
·
Branca : Predisposisi bawaan, potensi yang belum dikembangkan, sifat bawaan
dari lahir
·
Gray : kapasitas untuk belajar
·
Lyman : kapasitas untuk mengembangkan keahlian / ketrampilan dalam bidang
studi tertentu yang bersifat bawaan dan pengalman
·
Bingham : kondisi pada seseorang yang dengan suatu latihan khusus
memungkinkan mencapai suatu kecakapan, pengetahuan dan ketrampilan tertentu
Pentingnya mengetahui bakat
Mengidentifikasi bakat memungkinkan individu mentetahui tip skil yang
paling cepat, mudah dan dapat dinikmati ketika dipelajari
Individu yang tahu bakatnya akan lebih percaya diri, akan lebih mengoptimalkan
waktu dan energinya di bidang yang menawarkan kemungkinan sukses yang paling
besar baginya
Intelegensi dan Bakat
Jawaban-jawaban yang diberikan seseorang dalam pengukuran intelegensi umum
ternyata dapat menunjukkan bakat khusus seseorang, di mana ia dapat menjawab
dengan baik satu aspek kemampuan tertentu. Pengukuran intelegensi umum yang
dicapai seseorang memiliki sifat untuk meramalkan sampai di mana seseorang
dapat berhasil dalam menyelesaikan beberapa tugas-pekerjaan yang membutuhkan kemampuan mental. Sedangkan
pengukuran bakat dilakukan dengan maksud untuk menunjukkan kemampuan berhasil
dalam suatu bidang tertentu (Crow and Crow,1989).
Klik untuk full version disini
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon